Langsung ke konten utama

Ekoteologi





Eco-Theology
(Teologi Lingkungan Hidup dalam Konteks Indonesia)

Johnson P. Robinsar Siregar.


Abstraksi

Sepertinya mustahil ketika berteologi mengenai ekologi tanpa mendasarinya pada korelasi antar ciptaan, terutama relasi manusia dengan ciptaan lainnya. Manusia hidup dan berada dalam korelasi dengan ciptaan lainnya. Tanpa itu manusia tak dapat hidup dan berada. Lingkungan hidup merupakan ruang aktualisasi diri manusia yang keseluruhan tindakannya (etic) merupakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan (integratif dan holistik) baik jasmani maupun rohani sebagai bentuk respon (ibadah) dan tangungjawabnya (pelayanan) kepada Sang pencipta.

Kata Kunci: Korelasi; keseluruhan tindakan (etic); integrasi dan holistik; tanggunjawab (pelayanan).

It seems impossible when making a theological effort about ecology without underlying it in a correlation between creation, especially human relations with other creations. It needs to be emphasized that humans live and are in correlation with other creations. Without that humans cannot live and be. Environment is a space of human self-actualization whose overall actions (etic) as an integral part (integrative and holistic) both physically and spiritually as a form of response (worship) and responsibility (service) to the Creator.

Keywords: Correlation; overall action (etic); integration and holistic; tanggunjawab (service).


            A. Pendahuluan.
           
            Ajaran iman Kristiani, yang bersumber pada kebenaran wahyu yaitu Alkitab mengajarkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dalam (melalui) suatu proses. Informasi Kitab Suci atau teologi, tentu saja tidak dapat disetarakan dengan kajian sains tentang bagaimana penciptaan berproses, serta bagaimana alam ciptaan muncul dan berkembang hingga kini. Kebenaran iman tidak serta merta menolak hasil kajian sains. Kebenaran iman justru mensyaratkan afirmasi ilmiah, sebagaimana diakui oleh Anselmus dari Canterbury, “iman membutuhkan rasio(fides quaerens intellectum), dengan lain perkataan “iman" tidak bisa dilepaskan dari ilmu pengetahuan. Tidak ada pertentangan antara keduanya, sebaliknya dapat saling melengkapi (komplementer). Teologi yang mendengarkan ilmu pengetahuan justru akan terbantu dalam merefleksikan tentang Allah yang bekerja secara kreatif dalam dan melalui seluruh proses terjadinya dan berlangsungnya alam semesta sebagaimana disingkapkan kosmologi. Allah bekerja sedemikian rupa sehingga semua potensi yang ada dalam alam semesta bersinergi sejak awal penciptaan (munculnya alam semesta). Dasar kedudukan dan peran khusus manusia di tengah ciptaan, adalah penciptaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah, “Manusia memiliki peran khusus di dalam ciptaan, karena Allah memberikan hidupnya kepada manusia.
Namun kenyataanya alam dan lingkungan hidup di planet bumi ini semakin hari semakin tidak sehat,  menderita  dan  tak  nyaman  lagi  untuk  ditempati.  Setiap  hari,  di  berbagai belahan  dunia,  udara,  tanah,  air,  dan  lingkungan  hidup  menjadi  kotor;  akibat banyaknya polusi dan pencemaran yang dihasilkan oleh pabrik, kendaraan, maupun milyaran  orang yang hidup di rumah-rumah  tinggal  mereka.  Kepulan  asap mesin pabrik,  kendaraan,  penyebaran  sisa produksi dan limbah  pabrik pencemar  sungai, jutaan kubik timbunan sampah tak terurus, tindakan penebangan hutan secara liar dan   pengerukan hasil tambang bumi menjadi semakin membuat planet bumi kita sakit. Hal tersebut menjadi salah satu sisi khas tanah air kita yang sudah memasuki usia lebih dari setengah abad. Akibatnya, terjadi pencemaran  air, tanah dan udara secara besar-besaran; bau busuk sampah yang menusuk, proses erosi tanah dan penggundulan  hutan  yang  tak  terkendali,  dan  intinya  bahwa  lingkungan  hidup menjadi  rusak parah. Semuanya  itu tentu saja berpengaruh  buruk bagi kesehatan, ketentraman hidup, keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia.
           
            B. Ekoteologi Menurut Pandangan Kristen.
           
            Konsep sentral dalam ekologi ialah ekosistem yaitu suatu system ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya.  Istilah ekologi muncul pertama sekali oleh Haekel seorang dari murid Darwin demikian Borrong menuliskan: Pada tahun 1866 yang menunjukkan pada keseluruhan organisme atau pola hubungan antara organisme dan lingkungan. “Kata ekologi berasal dari kata Yunani yaitu “oikos” yang secara arafiah rumah dan pengetahuan. Ekologi sebagai ilmu berarti pengetahuan tentang lingkungan hidup atau planet bumi sebagai keseluruhan. Bumi dianggap rumah tempat manusia dan seluruh mahluk mahluk hidup dan benda lainnya. Jadi lingkungan hidup selalu harus dipahami dalam oikos, yaitu planet bumi ini. Sebagai oikos maka bumi mempunyai dua fungsi yang sangat penting, yaitu sebagai tempat kediaman (oikumene) dan sebagai sumber kehidupan (oikonomia). Sampai sekarang planet bumi merupakan satu-satunya tempat yang memungkinkan berlangsungnya kehidupan”[1].
            Dalam tradisi teologi Kristiani, konsep “gambar Allah sejatidigunakan dengan maksud menekankan relasi khas manusia dengan Allah. Bapa-bapa Gereja, antara lain Ireneus membuat pembedaan antara “gambardan “rupa.“Gambarmengacu kepada manusia sebagai ciptaan Allah, sedangkan “rupa lebih menekankan relasi manusia dengan Yesus Kristus, sebagai rupa Allah sejati. Athanasius berbicara tentang Yesus Kristus sebagai gambar Allah sejati. Manusia mengambil bagian dalam gambar dan rupa Allah karena rahmat. Relasi personal antara Allah dan manusia ini menjadi mungkin karena kedudukan Yesus Kristus, sebagai pusat atau titik perjumpaan segala makhluk. Dengan demikian, sesungguhnya segala makhluk turut serta atau mengambil bagian dalam relasi itu. Allah, dalam relasi dengan segala makhluk ciptaan, memperlakukan ciptaan dengan menghormati keutuhan, dan nilai ciptaan pada dirinya.  Dan, karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, maka manusia memiliki peran khusus terhadap ciptaan. Manusia merupakan wakil Allah (representasi), yang atas nama Allah memelihara ciptaan. Allah mengasihi ciptaan-Nya, yakni manusia dan makhluk lainnya. Kasih dan peme- liharaan Allah ini berlangsung tanpa mengabaikan perbedaan dan kekhasan masing-masing ciptaan. Kasih dan pemeliharaan Allah tidak mengisyaratkan pendekatan antroposentris dan fungsional-pragmatis, terhadap ciptaan. Sebagai gambar Allah manusia menjalankan tanggungjawab ter- hadap ciptaan, menjaga dan merawat. Manusia menghargai ciptaan lainnya, sebagai ciptaan dan karya Allah. Alam ciptaan bukan hanya sekedar benda atau materi, tetapi juga sarana penyataan diri Allah: sakramen Allah. Pandangan Kristiani ini menyingkapkan dimensi lain dari ciptaan, yakni kesucian ciptaan, karena semua makhluk “lahir” dari Allah, buatan tangan Yang Mahasuci, yakni Pencipta.
Persoalan-persoalan lingkungan hidup terjadi dalam koridor kausalitas, pengaruh hubungan timbal balik. Sebab yang satu mengakibatkan yang lain, akibat yang lain menempati posisi sebab dan menjadi akibat bagi yang lain, demikianpun seterusnya. Semua sebab dan akibat itu tetap kembali pada sebab utama yakni manusia sendiri. Hanya manusialah yang dapat memberi warna dan bentuk baru bagi dunia dengan menggunakan akal budi dan kehendaknya. Manusialah yang mampu menemukan jalan keluar bagi kosmos yang kini bermasalah. Manusialah yang memiliki paradigma yang luas demi menyelamatkan kosmos yang kini bermasalah. Kosmologi berasal dari kata bahasa Yunani, cosmos dan logos. Cosmos berarti alam semesta yang teratur, sedangkan logos berarti ilmu, penyelidikan tentang, asas-asas rasional dari. Jadi, secara etimologis, kosmologi berarti penyelidikan tentang alam semesta yang teratur. Dengan kata lain, kosmologi membicarakan asas-asas rasional dari alam semesta yang teratur.
Borrong lebih jauh menegaskan bahwa lingkungan hidup itu mencakup arti yang sangat luas yang dapat diidentifikasi sebagai kondisi, situasi, benda, mahluk hidup, ruang, alat dan perilaku manusia yang mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan dan kelangsungan seluruh isi planet, termasuk manusia[2]. Namun kata Borrong bahwa ada yang sering terlupakan untuk memahami hubungan manusia dengan lingkungannnya yaitu etosfer. Padahal, perilaku manusia hanya dapat dikendalikan dan diarahkan oleh segi etosfer. Perilaku manusia terhadap dalam alam sangat menentukan kelangsungan alam dengan segala yang ada disekitarnya.  Pada setengah abad yang lalu seorang sejarawan di Amerika Serikat yaitu Lynn White menuliskan “The Historical Roots of Our Ekological Crisis”. Lynn mengatakan bahwa perkembangan ilmu dan teknologi yang kini mengakibatkan krisis lingkungan hidup berakar dalam antroposentrisme yang berasal dari Alkitab Yahudi-Kristen. Dimana posisi central manusia dan dominasi manusia terhadap dunia ciptaan itu paling jelas ditemukan dalam misi yang diberikan oleh Allah kepada manusia sebagai gambarnya. Tanggapan terhadap tuduhan Lynn muncul dari berbagai ahli yaitu salah satunya Nash yang menuliskan dalam bukunya[3].

C. Pandangan Etis Terhadap Lingkungan.

Adapun yang dimaksud dengan pandangan etis terhadap lingkungan ialah apa yang mendasari tindakan manusia terhadap lingkungan atau dikenal dengan etika lingkungan. Menurut K.C. Abraham dalam “A Theological Respons to the Ecological Crisis” memaparkan[4]:
“the growth model must bechanged, the ecological is created by modern industrial and technological growth and modern life-style. One paradigm of development, the Westrn industrial growth model, is almost universally accept. It is process using enormous capital and exploiting natural resources, particularly non-renewable ones. Cahllange to ethics: in addition to calling for this theological shift, the ecological perspective alsso challenges our nation of ethics. In fact, the ecological model of mutual interdependence can provide a new corientastion in ethics that can the source of human renewal. Our Lord asks us to lern from the bird of the air, the lilies of the field. Values that are ssential for survival of live are those of carring and sharing, not domination and manipulation”
            Adanya pengetahuan dan kesadaran manusia akan krisis ekologis atau kerusakan lingkungan melahirkan banyak teori-teori. Dilihat dari etika ekologi biasanya dibagi atas dua bagian besar, yaitu yang dikenal dengan istilah teknis sebagai “swallow ecology” yang secara arafiah diartikan ekologi dangkal. Lalu yang satu yang satunya dikenal dengan “deep ecology” atau secara arafiah dekenal dengan ekologi dalam. Menurut Borrong apa ya itu ekologi dangkal dan ecology dalam ialah: ekologi dangkal ialah pandangan yang menekankan bahwa lingkungan adalah untuk kepentingan manusia yang menjadi dasar atau konsep antroposentris. Sednagkan ekologi dalam adalah pendekatan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama[5].
            Adapun dasar dari seluruh kegiatan terhadap pandangan etika lingkungan merekomendasikan bahwa dalam kehidupan di alam ciptaan ini maka sangat perlu pengakuan bahwa Allah adalah Pencipta. Manusia adalah materi atau bahan yang telah diciptakan bersama dengan ciptaan lainnya. Secara moral sebagaimana yang telah dibahas diatas maka adanya komitmen manusia untuk menjaga seluruh ciptaan. Artinya bahwa kehidupan dalam kasih adalah dasar etis dalam menghargai ekologi. Nash memaparkan bahwa masalah besar dalam menjaga keutuhan ciptaan adalah interpretasi terhadap cinta itu sendiri. Padahal cinta adalah hal yang sangat essensial dalam kehidupan: “ the task essiantial, in my faith and etics. If so, a Christian ecological ethics is seriously deficient-if even conceivable-unless it is grounded in Christian love”[6]. Demikian juga Samuel Rayan mengeksprisikan bagaimana cinta kepada Allah dan kepada dunia dalam tulisannya “The Earth Is the Lord’s yang menuliskan:  “God’s earth is loving earth, patient, nurturing, self-giving. Her freedom is her ability and give herself for the life of others. How richly and endlessly the give herself to us and to God, in how many beautiful ways and form!”
            Menurut Karel Erari membangun pemikiran ekoteologis ialah membangun pemahaman etis terhadap ekologi (ekoteologis) yang mampu memberikan sumbangan serta tanggungjawab etis di bidang penyelamatan lingkungan. Untuk itu perlu etika  pemihakan pada alam atau lingkungan sebagai bentuk pengimplementasian pemikiran teologis[7]. Salah satunya menurut Erari sebagai bagian dari Etika Lingkungan ialah Integriti of Creation. Bagi Erari persoalan yang sangat serius itu telah menimbulkan distorsi antara hubungan segitiga: Allah-Manusia-Dunia[8].  Dengan demikian orang Kristen sangat diharapkan kepeduliannya pada lingkungan adalah tuntutan iman. Ekoteologi  memanggil manusia untuk bertindak dengan lebih hormat, adil, bermurah hati, dan mau mengosongkan diri demi kelestarian bumi yang bukan objek kepunyaannya. Apakah berarti bahwa tujuh miliar manusia sekarang sebaiknya membiarkan alam mencari jalannya sendiri, menurut pandangan romantis sebagian ekolog-radikal? Cara itu hanya akan menghebat konflik manusia dan alam. Dalam Alkitab manusia dengan talentanya yang khusus diutus oleh Allah untuk turut mengambil tanggung jawab di tengah makhluk ciptaan lain. Tugas perutusan khusus manusia untuk bertanggung jawab di tengah yang lain tak dapat dijalankan oleh manusia kalau serakah tanpa mengenal pengurbanan, kenosis, penyerahan diri, seperti yang dilakukan Kristus bagi manusia dan seluruh ciptaan. Dalam arti itu Kristus harus menjadi model bagi kita juga untuk perilaku kita yang ramah lingkungan. Sekali lagi, untuk rela menyerahkan diri bersama Kristus demi seluruh alam ciptaan, ekoteologi masih perlu meningkatkan penghargaan kita atas alam ciptaan Tuhan itu.
Etika Ekologis merupakan Pengalaman moral Kristen dalm merespon Anugerah Keselamat. Kesejatian iman Kristiani pada orang percaya antara lain terungkap atau terwujud dalam kepedulian dan tanggungjawabnya yang nyata pada lingkunganya. Selanjutnya bagaimana gerekan ekotelogi Gereja anggota UEM yang berada di kawasan Kaldera Toba dalam akan dipaparkan.


D. Konteks Persoalan Ekologi di Indoensia.

            Dalam konteks pembangunan di Indonesia, tantangan ekologi semakin berat sejak pembangunan mulai dipompa secara masif di era Soeharto. Model pembangunan yang menekankan pertumbuhan (growth-centered) dan bergerak dari atas. Penguasan 2 lahan dan penebangan hutan misalnya berlangsung secara cepat sejak dikeluarkan Undang-undang penanaman modal asing (UU No. 1 tahun 1967) dan penanaman modal dalam negeri (UU No. 6 Tahun 1968). Sampai tahun 1990-an, diperkirakan 25 juta hektare hutan – setengah dari total lahan yang dikuasai oleh inverstor – telah ditebang untuk kebutuhan industri mengingat tingginya permintaan kayu bulat untuk industri playwood. Selain perkebunan, sektor pertambangan juga turut mempercepat penguasaan lahan di berbagai daerah. Perusahaan-perusahaan pertambangan (sebagian besar perusahaan asing) semakin leluasa bergerak sejak dikeluarkannya UU No. 1 tahun 1967 (penanaman modal asing). Kondisi di atas membuat penguasaan tanah di Indonesia berlangsung secara masif untuk kepentingan industri. The Institute For Global Justice (IGJ) memperkirakan bahwa hingga tahun 2015, sekitar 93% (± 175 juta hektare) daratan Indonesia telah dikuasai oleh para inverstor.
            Kondisi ini menunjukan bahwa di era Otonomi Daerah (Otda) pun, sesungguhnya persoalan lama tetap berlangsung, yakni penguasaan jutaan hektar lahan untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, hutan tanaman industri dan insfrastruktur. Di sini, selain tingginya permintaan pasar akan produk pertambangan dan perkebunan, Kontestasi politik di level nasional dan daerah juga menjadi “bahan bakar” yang turut mempercepat penguasaan lahan. Di dalamnya terjadi persengkongkolan antara pejabat dan pemilik modal dalam rangka penguasaan lahan untuk produksi. Praktek seperti ini mengingatkan kita pada era Soeharto di mana klientelisme terinstitusionalisasi dalam pemerintahan dan aktivitas ekonomi. Melihat kondisi seperti ini, tentunya tidak mengherankan apabila Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) – pada tahun 2015 – memberi rapor merah kepada pemerintah terkait pembenahan sektor agrarian. 
            Kondisi ini diikuti dengan terjadinya pencemaran tanah, rusaknya ekosistem, masalah kesehatan, penurunan hasil pertanian sampai konflik horizontal (baik konflik antar warga maupun antara warga dengan korporasi, pemerintah dan aparat keamanan) yang mengakibatkan jatuhnya korban. Dalam perkebunan sawit misalnya, di satu sisi Indonesia menyuplai sekitar 52% dari kebutuhan sawit dunia. Namun di sisi lain, pengelolaan sawit mengakibatkan kondisi lingkungan menjadi rapuh, degradasi tanah, asap beracun yang diikuti penyakit pernapasan sampai hilangnya kemampuan masyarakat lokal untuk mengelola tanah secara berkelanjutan. Kondisi ini tidak berbeda dengan penguasan lahan untuk kepentingan pertambangan. Dalam catatan Greenpeace misalnya (tahun 2014), sektor pertambangan (batubara) – di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan – telah mengubah hutan dan lahan pertanian menjadi daerah gersang yang diikuti kelangkaan air bersih dan rusaknya pertanian, ratusan lubang bekas tambang dibiarkan terbengkalai, terjadi pencemaran air, banjir serta rusaknya bentang alam. Selain itu, sungai yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat mengalami penurunan debit air, kualitas air menurun, ikan-ikan mati dan masalah kesehatan yang dialami masyarakat lokal.     
            Apa yang terjadi di sini sesungguhnya bukan sekedar kerusakan alam, namun juga hilangnya hak hidup masyarakat (hak sosial, ekonomi dan budaya). Daerah-daerah yang disulap menjadi wilayah tambang dan perkebunan seringkali menjelma menjadi daerah di mana tatanan sosio-budaya (adat) mengalami kerusakan dan naiknya angka kemiskinan serta rawan pangan. Daerah seperti 3 Aceh, Riau, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Papua misalnya sebagaimana disinggung Abdur Rofi (Ahli geografi ekonomi kependudukan) adalah daerah kaya sumber daya alam, namun berhadapan dengan kemiskinan dan rawan pangan. Apa yang digambarkan di atas menunjukan bagaimana kerusakan ekologi selalu terkait dengan persoalan keadilan sosial. Dalam konteks gerakan ekumene, tantangan ini dibaca dari perspektif keadilan ekologis yang menekankan hubungan yang adil dan berkelanjutan antara manusia dengan alam (bumi).
            Kerusakan ekologi dapat dibaca sebagai rusaknya relasi (harmoni) manusia dan alam konteks sustainable life. Di dalam kerusakan tersebut, sebagaimana dicatat DGD dalam Statement on Eco-justice and Ecological Debt (2009), terjadi kait-mengkait antar sejumlah faktor (kebijakan, proses produksi, konsumsi dan worldview/Teologi) yang berujung kehancuran ruang hidup manusia dan semua ciptaan. Persoalan penguasaan lahan untuk kepentingan industri memperlihatkan bagaimana persilangan tersebut berlangsung. Demikian juga dengan Karel Phil Erari menuliskan dalam bukunya sebagai salah satu contoh dampak kerusakan lingkungan: persoalan lingkungan hampir merata di tanah Papua. Tidak ada satupun wilayah yang bebas dari masalah lingkungan, dan Freeport adalah masalah terbesar bagi orang Papua, terlepas dari apapun itu, lingkungan adalah masalah manusia dimasa mendatang[9].
            Dari berbagai sumber menguraikan persoalan ekologi di Indonesia antara lain dalam catatan Walhi, sekitar 159.178.237 hektar lahan telah dikapling perizinan yang setara dengan 30,65% wilayah Indonesia (darat dan laut). Sebagai gambaran, luas daratan Indonesia sekitar 191.944.000 hektar dan luas laut mencapai 327. 381.000 hektar. Sebaran izin tersebut, 59,77% ada di darat dan 13,57% di laut. Penggunaan ruang bisa lebih besar, apabila data perizinan daerah dapat teregistrasi atau dikonsolidasikan dengan baik di tingkat kementerian atau lembaga. Walhi juga mencatat, ada 302 konflik lingkungan hidup dan Agraria terjadi sepanjang 2017, serta 163 orang dikriminalisasi. Data ini bersumber dari 13 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.175 kejadian bencana di Indonesia. Dari data itu, 99,08% merupakan bencana ekologis, disebabkan meningkatnya frekuensi angin puting beliung sebagai dampak perubahan iklim[10]. Berdasarkan data Korlantas Mabes Polri menyebutkan jumlah kendaraan yang terdaftar sampai 3 Januari 2017 mencapai 102.328.629 kendaraan. Kondisi ini menimbulkan munculnya masalah pencemaran udara. Data kematian akibat polusi udara mencapai lebih dari 165.000 orang. Sedangkan, data WHO di tahun 2017 menyebutkan, Jakarta dan Bandung masuk daftar sebagai 10 besar kota dengan pencemaran udara terburuk di Asia Tenggara. Tingkat polusi udara Jakarta sangat mengkhawatirkan yaitu berada pada level 4,5 kali dari ambang batas yang ditetapkan WHO, dan tiga kali lebih besar dari standar yang ditetapkan pemerintah Indonesia. Sedangkan, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, total luas hutan Indonesia saat ini mencapai 124 juta hektar. Sejak 2010 sampai 2017, Indonesia kehilangan luas hutannya hingga lebih dari 684.000 hektar per tahunnya[11].
            Selain itu masalah yang turut menjadi persoalan ekologi di Indonesia ialah pembarakan hutan. Kerusakan lingkungan yang terjadi bukan hanya pemanasan global ataupun efek rumah kaca saja melainkan kebakaran hutan merupakan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh ulah tangan manusia. Hutan merupakan hal yang penting bagi bumi yang merupakan paru-paru dunia. Hutan yang merupakan paru-paru dunia merupakan kebutuhan yang pokok bagi adanya keberlangsungan oksigen di bumi ini tanpa adanya hutan bumi akan kehilangan oksigen susahnya mendapatkan oksigen karena hutan yang semakin habis dikarenakan oleh ulah manusia sendiri. Dampak dari kebakaran hutan sendiri selain hilangnya paru-paru dunia yaitu pencemaran udara akibat asap yang ditimbulkan menyebabkan berbagai penyakit yang datang, menurunnya nilai ekonomi hutan dan adanya gangguan yang terjadi di lintas darat, udara dan laut. Dampak yang sangat terasa di kalangan masyarakat yaitu adanya asap yang diakibatkan oleh kebakaran hutan itu sendiri yang dampaknya tidak hanya dirasakan di Indonesia sendiri melainkan di negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura dan Brunaidarusalam.
            Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia memproduksi sampah hingga 65 juta ton pada 2016, dan meningkat menjadi 67 ton pada 2017. Sementara itu, data Pusat Oceanografi LIPI menunjukkan, sekitar 35,15% terumbu karang di Indonesia dalam kondisi tidak baik dan hanya 6,39% dalam kondisi yang sangat baik. Pemanasan global dipicu karena pembakaran batu bara yang mencapai jumlah emisinya per tahun yaitu 9 miliar ton Co2; Adanya konversi lahan dan perusakan hutan dengan jumlah emisi mencapai 2,53 miliar ton Co2e; dan aktivitas dan pemakaian energy, pertanian dan limbah dengan emisi mencapai 451 juta ton Co2[12].
            Kebijakan pembangunan di tingkat nasional dan daerah tidak berpihak pada agenda keadilan ekologis yang menekankan keselarasan (harmoni) manusia dan alam dalam rangka sustainable life. Ini terlihat dari berbagai peraturan dan ijin yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah yang kemudian melahirkan bencana ekologis bagi manusia dan alam.
1.      Meredupnya posisi tawar dan kapasitas masyarakat untuk mengontrol pengelolaan alam secara berkelanjutan. Dominasi korporasi dan dukungan aparat keamanan telah memperlemah masyarakat lokal di tengah kehancuran ekologis yang ada di depan mereka.
2.      Adanya cara berpikir yang memandang alam sebagai objek yang bisa digunakan untuk mengisi kebutuhan konsumsi pasar (nasional dan internasional) dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
3.      Adanya konflik kepentingan di dalam gereja yang diikuti kegamangan gereja dalam merepon persoalan eco-justice di wilayahnya.
4.      Adanya ketidaksiapan gereja memahami dirinya (menemukan dirinya dalam spiritualitas lokal) di tengah persoalan keadilan ekologis yang justru ada di depan mata.
5.      Persoalan strategi pengelolaan keuangan gereja mengingat gereja kadang menghabiskan dana yang besar untuk acara-acara gerejawi, semantara untuk advokasi ekologi justru terbalik. Di sini membaca kerusakan ekologi tidak sekedar menemukan bentuk-bentuk kerusakan alam yang ada. Namun, menelusuri lebih jauh kerusakan sosial dan berbagai faktor yang beroperasi di dalamnya. Pembatasan Masalah Sebelum lebih jauh perlu dijelaskan dan dipahami bersama beberapa hal yang terkait dengan substansi percakapan dalam kegiatan ini, yaitu:
1.      Keadilan ekologis adalah pengelolaan SDA secara adil dan berkelanjutan bagi kepentingan semua orang dalam hal ini terkait dengan hak-hak ekonomi, sosial & budaya.
2.      Kerusakan ekologis adalah kerusakan ekosistim yang diakibatkan oleh tata kelola yang tak baik dan mengakibatkan penderitaan berkepanjangan. Kerusakan ekologi dikaitkan dengan tiga isu yang dipandang memiliki dampak besar di sejumlah daerah, yakni: (a) hutan, (b) perkebunan dan (c) pertambangan.
           
            E. Respon terhadap Krisis Ekologi.
Kerusakan lingkungan hidup yang kini kian parah menuntut manusia untuk senantiasa merumuskan paradigma baru dalam berelasi dengan lingkungan hidupnya. Paradigma lama dalam memandang lingkungan hidup diwarnai oleh pandangan antroposentris. Manusia merupakan pusat dan penguasa atas alam semesta. Menanggapi paradigma lama ini, Joanna Macy mengumandangkan suatu paradigma baru terhadap lingkungan hidup. Paradigma yang digagas Joanna ini mengandung dua pokok pikiran utama yakni deep ecology dan penghijauan diri. Deep ecology mempunyai cakrawala pandangan yang menyeluruh, holistik. Latar belakangnya adalah dimensi saling keterkaitan antarorganisme dalam lingkungan hidup. Deep ecology mengandung pemikiran bahwa menghadapi krisis ekologi dewasa ini, haruslah diusulkan proses transformasi yang radikal dalam cara pikir, cara pandang, dan cara bertindak. Setiap unsur dalam alam semesta memiliki nilai intrinsik dan berhak untuk berada dan terus berkembang. Nilai intrinsik yang dititikberatkan dalam hal ini ialah sistem keseluruhan organisme lingkungan hidup yang mendukung keberadaan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Selain deep ecology, Macy juga menekankan pentingnya kesadaran manusia akan dirinya sebagai pribadi dan bagian dari alam semesta. Manusia bukan penghuni tunggal jagat raya melainkan berada bersama ciptaan yang lain. Manusia dilukiskan sebagai sebidang tanah berumput, tempat penyusunan strategi demi hidup dan pertahanan diri. Manusia bukan lagi makhluk yang hanya memikirkan keperluan dan kepentingan diri, melainkan makhluk yang senantiasa membuka diri dan menyelami kedalaman makhluk dan unsur ciptaan lain. Dalam diri manusia terjadi proses transformasi rohani yang memperbaharui manusia. Manusia hendaknya memiliki dan menunjukkan kesetiakawanan dengan ciptaan lain. Inilah yang dimaksudkan oleh Macy dengan penghijauan diri. Senada dengan konsep deep ecology dan penghijauan diri yang digagas oleh Joanna Macy, Jonathan Huges juga menawarkan suatu paradigma baru dalam memandang persoalan lingkungan hidup. Huges menawarkan suatu etika ekologi yang baru yang disebutnya pendekatan holistik cosmocentrik (Cosmos centered). Manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan juga benda mati merupakan entitas kosmos yang memiliki hak yang sama. Mencederai satu sama lain berarti melukai tatanan kosmos itu sendiri.

           

            1. Pelayanan yang Bertanggung Jawab (Stewardship)
            Alam ciptaan Allah untuk dimanfaatkan/dipakai/digunakan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi sekaligus adalah rumahnya. Maka sumber-sumber alam diberikan kepada manusia tidak untuk diboroskan. Manusia harus menggunakan dan memanfaatkan sumber-sumber alam itu secara bertanggung jawab. Maka pemanfaatan/penggunaan sumber- sumber alam haruslah dilihat sebagai bagian dari pelayanan. Alam digunakan dengan memerhatikan keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan kebutuhan lingkungan, yaitu menjaga ekosistem. Tetapi alam juga digunakan dengan memerhatikan kebutuhan sesama, termasuk generasi yang akan datang.
            Memanfaatkan alam adalah bagian dari pertanggungjawaban talenta yang diberikan/dipercayakan oleh Tuhan kepada manusia (Mat. 25:14-30 par.). Allah telah memercayakan alam ini untuk dimanfaatkan dan dipakai. Untuk dilipatgandakan hasilnya, untuk disuburkan, dan dijaga agar tetap sehat sehingga produknya tetap optimal. Oleh karena itu, alam mesti dipelihara dan keuntungan yang didapat dari alam sebagian dikembalikan sebagai deposit terhadap alam. Tetapi juga dipergunakan secara adil dengan semua orang. Ketidakadilan dalam memanfaatkan sumber-sumber alam adalah juga salah satu penyebab rusaknya alam. Sebab mereka yang merasa kurang akan mengambil kebutuhannnya dari alam dengan cara yang sering kurang memerhatikan kelestarian alam, misalnya dengan membakar hutan, mengebom bunga karang untuk ikan, dan sebagainya. Sebaliknya, mereka yang tergoda akan kekayaan melakukan pengurasan sumber alam secara tanpa batas.
            Panggilan untuk memanfaatkan sumber-sumber alam sebagai pelayanan dan pertanggungjawaban talenta akan mendorong kita melestarikan sumber-sumber alam, sekaligus melakukan keadilan terhadap sesama. Contoh konkret: manusia menghemat menggunakan sumber-sumber alam (bahan bakar fosil, hutan, mineral, dan sebagainya) agar tetap mencukupi kebutuhan manusia dan makhluk hidup lain secara berkesinambungan. Penghematan ini tidak hanya berarti penggunaan seminimal mungkin sumber-sumber alam sesuai kebutuhan (air, energi, kayu, dan sebagainya), tetapi mencakup pula pola 4R -- "reduce", "reuse", "recycle", "replace" (atau mengurangi, menggunakan ulang, mendaur ulang, dan mengganti) sumber- sumber alam yang kita pergunakan setiap hari. Dunia modern yang sangat praktis mengajar kita memakai lalu membuang. Sayangnya, yang sering dibuang itu adalah yang semestinya masih berguna kalau didaur. Tidak jarang pula yang dibuang itu sekaligus merusak lingkungan, misalnya bahan kimia atau kemasan kaleng dan plastik. Karena itu, bahan-bahan yang merusak alam sebaiknya tidak digunakan terlalu banyak dan tidak dibuang sembarangan.

            2. Pelayanan Holistic.
            Berangkat dari deep ecology yang memandang manusia suatu bagian yang integral (yang tidak terpisahkan yang terintegrasi) dari lingkungan hidupnya. Pelayaan Holistik adalah wujud dari Misi Holistic. Menurut John Ruck misi yang dilakukan secara holistik tidak terbatas hanya pada jemaat atau kelompok tertentu, tetapi secara umum dikerjakan oleh pembawa misi dalam kerjasama sosial yang dilakukan berdasarkan kebiasaan masyakat yang ditempati. Dengan melihat potensi SDM dan SDA, maka secara holistik dapat dibuat suatu inovasi yang dapat membawa paradigma masyakat dalam kebersamaan melakukan kegiatam untuk kebutuhan bersama. Demikianlah yang dilakukan oleh Nomensen membangun pargodungan dengan menghadirkan dan melakaksanakan misi Allah (Missi Dei)[13] yaitu untuk memberitakan Firman Allah dan mengahadirkan damai sejahtera atau syalom Allah di tengah-tengah dunia. Dalam Surat Paulus (Ef. 4:13-14), disebutkan gereja harus sampai pada kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Nomensen berkarya dalam Kristus serta hidup dan berjalan di dalam Kristus sebagai misi-Nya. Misi Allah secara holistik merupakan tindakan efektif dalam memasuki budaya yang mungkin susah untuk menerima inovasi baru terutama dalam pemahaman teologis. Allah memegang janji kasih karunia-Nya kepada manusia, sebab itu Yesus datang dengan kasih karunia dan kebenaran (Yoh. 1:1-14; Filp. 2:5-8).


3. Kearifan lokal dalam menjawab tanggungjawab Ekoteologi di Indonesia.

Indonesia yang multi etnic merupakan salah satu modal besar dalam menjawab tantangan krisis ekologi. jika mau dijabarkan secara teoritis maka kearifan lokal adalah kristalisasi nilai-nilai, norma-norma serta adat-istiadat yang bersumber pada pemahaman atau cara pandang seuaru komunitas tentang dunia dan manusia sebagai entitas terpadu tak terpisahkan. kearifan lokal mengandung didalamnya etika atau moralitas sebgai pegangan hidup personal, sosial dan spiritual. dalam budaya batak misalnyasuka Batak Toba memiliki salah satu sistem ekologinya sendiri yaitu agama ekologis. Pendapat ini akan lebih jelas ketika melihat praktik ekologis yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari mereka: pertanian, perikanan, pembangunan rumah dan kegiatan lainnya. Segalanya selalu dilakukan dalam ranah religiositas. Mereka tidak pernah melupakan Debata MJN, manusia dan alam. Dengan demikian, entitas ketiga selalu disertakan. Pertanyaannya adalah, bagaimana mereka mempraktekkan konsep ekologi mereka? Dunia Batak Toba secara keseluruhan terinspirasi oleh dan berdasarkan pada sistem agama mereka. Mereka membangun hubungan ini tanpa perbedaan. Bagi mereka, hubungan dengan Debata MJN memiliki karakteristik serupa dengan hubungannya dengan alam. Dengan kata lain, hubungan yang mereka bangun dengan alam selalu termasuk hubungan mereka dengan dunia atas dan manusia. Kesatuan relasional ini dapat dilihat dengan jelas di setiap kali mereka melakukan ritual.Sehubungan dengan hubungan mereka dengan alam semesta yang lebih luas, hubungan orang Batak Toba dengan alam semesta terkandung dalam parhalaan (kalender Batak). selain itu ada juga “Pinta-pinta”. Dalam sikap hidup Suku Batak, setiap memanfaatkan sesuatu selalu mengharapkan ada pengganti kemudian. Prinsip itu ditanamkan dengan “Martumbur partabaan, malomak pansalongan”. Prinsip ini tidak membatasi satu mengganti satu, akan tetapi berkembang biak. Barang siapa yang melakukan pemotongan pohon dan tidak menjamin ada tunas atau tanaman pengganti, berarti dia telah memutus satu siklus hidup dan ada “sapata” kerugian di lain waktu
Kearifan lokal, sebagaimana dipahami yang mengacu kepada kearifan masyarakat asli. artinya masyarakat asli dimengerti sebagai masyarakat yang hidup dan mengembangkan kehidupan dalam koridor keyakinan serta norma-norma tradisonal, bebas dari nilai-nilai baru yang lahir dari peradaban modern sebagai buah perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi, serta bebas dari refleksi filosifis dan teologis dari agama-agama wahyu. Apa yang disebut sebgai sebagai kearifan lokal umumnya merupakan endapan nilai dan norma-norma (tabu dan larangan) dari alam pikiran mistis yang merupakan bagian integral dari terbentuknya kebudayaan manusia. Dengan demikian kearifan lokal merupakan sumbangan positif untuk bereokoteologi kontekstual dalam konteks Indonesia. Sehingga akan semakin banyak aksi nyata dalam berbagai unsur budaya yang dapat diaktualisasikan dan dikontektualisasikan oleh gereja-gereja dalam menjawab krisis ekologinya.


I. Kesimpulan.

1.         Sejak masa pencerahan, manusia memandang alam ini sebagai objek semata dan alam kehilangan ‘sakralitasnya’. Hal ini berbarengan dengan lahir dan berkembangnya industri komersial dengan mengeksploitasi alam.
2.         Masalah ketamakan manusia. Gandhi dengan amat bijak mengatakan, “Bumi ini cukup menyediakan kebutuhan semua orang tetapi tidak cukup menyediakan untuk ketamakan setiap orang.” Konsumerisme dan pola hidup serba instant memberi andil besar terhadap kerusakan alam.
3.         Pemahaman anthroposentrik, yang menganggap manusia sebagai pusat. Segala sesuatu yang ada di dunia ini dipahami hanya demi dan untuk manusia. Penciptaan segala sesuatunya sebelum penciptaan manusia pada hari keenam misalnya, dipahami bahwa Allah sudah terlebih dahulu menyiapkan semuanya itu untuk manusia. Di samping itu, penafsiran akan amanat Allah kepada manusia untuk ‘menaklukkan’ (דר) dan ‘berkuasa’ (שבכ) sering dipahami sebagai hak istimewa, yang menempatkan manusia sebagai subjek dan makhluk lain sebagai objek semata. Masalah lingkungan hidup umumnya terkait dengan krisis moral dalam usaha memahami ciri saling ketergantungan antara manusia dan lingkungan hidup. Manusia kurang berminat untuk merenungkan keadaan lingkungan hidupnya. Manusia lebih banyak dipengaruhi oleh pola pikir yang antroposentris yang menempatkan dirinya sebagai pusat dan penguasa lingkungan hidup.
4.         Jika semua warga bumi ini tidak dengan sungguh-sungguh mengubah pola berpikir, pola hidup dan pola bertindak khususnya terhadap alam ini, maka akhir zaman bukan lagi sebagai sesuatu yang kita nantikan sebagai pemberian Tuhan melainkan karena ‘rampasan’ manausia yang merusak alam dan segala isinya.
5.         Dalam paradigma baru terhadap lingkungan, manusia melihat lingkungan hidup sebagai sahabat dalam kosmos yang saling berelasi. Relasi etis manusia dengan lingkungan hidup tersebut mesti bercorak kosmosentris, artinya bahwa relasi tersebut harus memperhatikan kelangsungan hidup dan keberadaan seluruh unsur kosmos. Paradigma lama terhadap lingkungan hidup yang bercorak antroposentris, biosentris, ekonomik-sentris harus diganti dengan paradigma baru yang menawarkan suatu pemahaman yang mendalam tentang lingkungan hidup yakni paradigma cosmosentris-holistik. Demikian juga halnya dalam mengkontektualisasikan peran nyata gereja dalam kearifan lokal dimanapun gereja berada di Indonesia.

Pustaka.

Borrong. P. Robert, “Etika Bumi Baru”, hard copy, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999)
Celia Deane-Drummond. Teologi dan Ekologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia cetakan-7. 2016
David Hallman (Editor). Ecotheology Voices From South and North, (Switzerland: WCC Publication (hard copy), 1994)
James A. Nash. Loving Nature-Ecological Integrity and Christian Responbility, (hard copy), (Washington: Abingdon Press Nashville, 1991)
John Ruck, dkk. “Jemaat Misioner”, ( Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011)A. Sunarko, A. Eddy Kristiyanto (editor), Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi - Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup, , (Yogyakarta: Kanisius cetakan ke-1, (hard copy) 2008)
Erari Phil K, Spirit Ekologi Integral-Sekitar Ancaman Perubahan Iklim Global dan Respon Perspektif Budaya Melanesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017)
Jan. S. Aritonang (penyunting). Teologi-Teologi Kontemporer, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018).


[1] Borrong. P. Robert, “Etika Bumi Baru”, hard copy, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999), hal. 18.

[2] Borrong, Op.Cit, hal 20
[3]James A. Nash Loving, ”Nature-Ecological Integrity and Christian Responbility”, hard copy, (Washington, Abingdon Press Nashville, 1991), hal. 70. James A. Nash, pakar etika kristiani yang dalam suatu karangan terakhir memperlihatkan bagaimana Alkitab kurang memberi perhatian kepada keutuhan alam.  Test case ialah hutan belantara (wilderness) dengan keanekaragaman hayatinya. Padang belantara dalam Kitab Suci dipandang negatif, sebagai wilayah kesengsaraan dan pencobaan, pengungsian dan kesepian (Yer 8:17 dll.;1Raj 19:1-9) yang di zaman akhir akan diubah Allah menjadi taman yang berguna bagi manusia (Mzm 107:33-38; Yes 35:1-7; dll).  Dalam Alkitab, menurut Nash, alam tidak dihargai karena nilai intrinsiknya; hanya sebagai sarana yang dapat dijinakkan dan dikelola demi kebutuhan manusia. “Bagian terbesar Alkitab itu acuh tak acuh, tidak peka, atau bahkan antagonistis terhadap alam yang tak dijinakkan.
[4] David Hallman, Op.cit. hal. 66, 71
                [5] Borrong. Op.Cit, hal. 150.
                [6] Nash, Op.Cit, hal. 139.
                [7] Erari. Op.Cit, hal. 146
                [8] Ibid, Op.Cit. hal. 108.
[9]Erari Phil K, “Spirit Ekologi Integral-Sekitar Ancaman Perubahan Iklim Global dan Respon Perspektif Budaya Melanesia”, (Jakarta, BPK Gunung Mulia), 2017, hal. 174. Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia semakin hari semakin parah. Kondisi tersebut secara langsung telah mengancam kehidupan manusia. tingkat kerusakan alam pun meningkatkan risiko bencana alam. penyebab terjadi kerusakan alam yang disebabkan oleh dua faktor. 1. faktor peristiwa alam dan. 2. faktor ulah manusia.
                [10] https://www.mongabay.co.id/2018/04/24/walhi-kondisi-indonesia-masih-darurat-ekologis/diakses: 24 April              2018
                [11] https://jurnalintelijen.net/2018/07/03/kerusakan-lingkungan-hidup-di-indonesia/diakses: July 3, 2018
                [12] https://jurnalintelijen.net/2018/07/03/kerusakan-lingkungan-hidup-di-indonesia/diakses: July 3, 2018
[13] John Ruck, dkk. “Jemaat Misioner”, ( Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011), hal. 18

Komentar