Langsung ke konten utama

Kapasitas diri mengahadapi tekanan pandemi covid-19


         Kapasitas diri mengahadapi 
          tekanan pandemi covid-19
                     Robinsar Siregar.

Pandemi penyebaran virus corona atau covid-19 menguji manusia di seluruh dunia untuk membuktikan dirinya memiliki kapasitas dalam bertahan atau tabah mengadapi kenyataan hidup. Saya mengutip sebuah tulisan yang membahs soft competency yang sangat penting saat kita menghadapi tekanan akibat perubahan-perubahan ekstrim yang terjadi di dalam diri maupun di sekitar kita.  Tulisan ini untuk mempersiapkan diri saya secara pribadi dan keluarga dalam menghadpi berbagai kemungkinan dimasa pandemi covid 19 yang semakin memprhatinkan hampir diseluruh dunia. Saya dibantu dalam membaca artikel yang ditulis oleh Widyarini, S.Psi dengan judul " Membangun Ketabahan". Kompetensi "Resilience" merupakan turunan atau sebagian dari bentuk yang lebih nyata dari kecerdasan emosional (emotional quotient) dan kecerdasan dalam menghadapi kesulitan (Adversity Quotient). Emotional Quotient (EQ) adalah kemampuan untuk mengenali, mengelola dan mendayagunakan emosinya secara efektif. Menurut saya saat ini manusia di seluruh dunia harus mampu mengendalikan Emosionalnya. Memgapa? Karena, EQ mencakup kemampuan merasakan, memahami dan mengelola kekuatan emosi pribadi, serta kesadaran, kepekaan sosial / emphati dan kemampuan untuk beradaptasi terkait dengan kondisi emosi orang lain maupun situasi dan kondisi lingkungan sekitarnya. Kondis Social distancing yang kemudian diganti dengan istilah physical distancing adalah salah satu upaya untuk mengurangi penyebaran virus Corona COVID-19 dengan menjaga jarak antara satu orang dengan yang lain. Untuk maka kecerdasa emosional sangat-sangat dibutuhkan agar upaya pemutusan mata rantai pandemi mengahsilkan upaya yang maksimal. Apakah sejauh ini upaya sosial distancing atau physical distancing berdampak? Selain kecerdasan emosional maka kondisi saat ini sangat dibutuhkan apa yang disebut dengan Adversity Quotient.
Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan dalam menghadapi masalah / kesulitan.  Menurut Stoltz (2000), kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan terutama ditentukan oleh tingkat adversity quotient. AQ memberi gambaran tentang bagaimana seseorang merespon kesulitan, apakah memilih untuk menghindari (quiter), berkemah-berhenti sejenak menikmati- (champer), ataukan memilih untuk terus berjuang mendaki (climber). Saat menghadapi kesulitan, orang-orang yang memiliki AQ tinggi tetap yakin bahwa mereka akan berhasil mengatasinya. Mereka sangat gigih, ulet dan tabah. Saat kesulitan menghadang, atau menemui jalan buntu, mereka akan segera mencari jalan lain. Saat merasa lelah dan kaki sudah tidak dapat diayunkan lagi, mereka akan melakukan introspeksi diri  dan terus bertahan.  (Stoltz,2000). Hari ini, jumlah korban positif terus bertambah yang mana daerah penyebaran juga terus meluas. Pemetintah Indonesia terus berupaya dan berjuang agar langkah-langkah strategis penanganan covid 19 semakin maksimal. Namun pemerintah tidak akan berhasil jika selutuh elemen masyarakat tidak berjuang bersama. Saya melihat bahwa masyarakat masih harus mendapatkan pengertian yang mendalam bagaimana mengelola kecerdasan dalam menghadapi berbagai-bagai masalah dalam kondisi yanga sangat sulit. 
Menurut Stoltz (2000), AQ memiliki 4 (empat) dimensi, yaitu Control (kendali),  Endurance (daya tahan), Reach (jangkauan),  Origin and Ownership - O2 (asal-usul dan kepemilikan).  Kendali, menunjukkan seberapa besar individu mampu mengendalikan situasi sulit yang dihadapinya, dan seberapa besar kendali itu berpengaruh terhadap situasi yang terjadi. Semakin besar kendali yang dimiliki individu, maka semakin besar pula kemungkinan bagi individu tersebut untuk dapat bertahan dan teguh pada usahanya mengatasi masalah yang timbul.  
Dimensi daya tahan, merupakan persepsi individu terhadap kemampuan dirinya dikaitkan dengan kesulitan yang sedang dihadapinya. Individu akan menilai, apakah situasinya baik atau buruk, apakah kesulitan itu akan berlangsung lama atau sebentar, seberapa mampu ia mentoleransi situasi-situasi sulit tersebut. Individu yang memiliki daya tahan yang tinggi akan selalu berpikir positif dan bersikap optimis dalam menghadapi situasi sulit yang tengah berlangsung. Mereka percaya bahwa badai pasti akan berlalu.
Dimensi jangkauan berkaitan dengan seberapa jauh kesulitan yang dihadapi itu menjangkau bagian-bagian lain dalam kehidupan individu.  Dimensi jangkauan menunjukkan sejauh mana individu membiarkan suatu kesulitan menjalar/masuk ke dalam dan mempengaruhi sisi-sisi kehidupan yang lainnya (Lisan & Ida). Semakin rendah dimensi jangkauan seseorang, berarti semakin besar kemungkinan individu tersebut mengijinkan situasi sulit itu menjangkau, meluas dan menyerap energi yang dimilikinya. Orang itu telah membiarkan peristiwa sulit tersebut mempengaruhi kesehatan fisik dan mentalnya. Sedangkan jika seseorang memiliki dimensi jangkauan yang tinggi, maka ia akan melokalisir atau membatasi pengaruh situasi sulit yang dihadapinya. Jangan sampai persoalan dan kesulitan itu menguasai sisi-sisi lain kehidupannya. Maka konteks hari ini dimana kita dapat melihat fakta terjadi dimana mana kesulitan yang diakibatkan virus corana. Pengaruh ekonomi yang semakin hari semakin mengalami kesulitan dari seluruh aspek kehidupan.
Dimensi yang terakhir adalah asal usul dan kepemilikan. Origin and Ownership, secara  berurutan mempertanyakan dua hal: Siapa atau apa yang menjadi asal-usul kesulitan? dan sampai sejauh manakah seseorang mampu mengakui  akibat kesulitan itu ? (Suharyadi, 2005). Origin (asal-usul) berhubungan dengan rasa bersalah. Pemahaman atau persepsi tentang asal-usul kesulitan yang tengah dihadapi akan membantu seseorang dalam belajar dan akan mengarahkan seseorang pada perasaan penyesalan. Orang yang memiliki dimensi asal-usul yang tinggi mampu meletakkan penyesalan pada posisi yang proporsional (sewajarnya). Ia mampu berbuat adil terhadap dirinya sendiri. Penyesalan dan pemahaman yang tepat terhadap asal-usul persoalan akan menjadi umpan balik dalam pembelajaran. Dengan demikian akan terjadi proses pembelajaran dan perbaikan secara terus menerus pada diri orang tersebut. Sedangkan orang yang dimensi asal-usulnya rendah cenderung menghakimi atau mengkritik diri sendiri secara berlebihan, yang dapat berujung pada depresi dan kebencian terhadap dirinya sendiri. Suharyadi, (2005) mengemukakan bahwa Ownership merupakan penyeimbang dari Origin, yang akan memaksimalkan pembelajaran dari sebuah kesalahan dengan cara memikul tanggung jawab. Kesadaran dan kesediaan untuk memikulan tanggung jawab muncul dari ?rasa memiliki? atau pengakuan atas akibat-akibat yang ditimbulkan dari suatu kesalahan/kesulitan. Bahwa kesulitan dengan segala akibatnya merupakan tanggung jawabnya. Lalu apa dan bagaimana tepatnya ketabahan (resilience) itu ?
Ketabahan merupakan bentuk penyesuaian dan adaptasi yang efektif terhadap kehilangan, penderitaan dan  kesulitan (Tugade & Fredrickson, 2004). Suatu kemampuan individu dalam menghadapi dan mendapatkan makna (kemampuan mengambil hikmah) dari peristiwa-peristiwa yang penuh tekanan dalam hidupnya (Richardson dalam Rusando).Ketabahan adalah bentuk adaptasi positif dan kapasitas untuk terus maju dalam menghadapi rintangan dan hambatan.  Para peneliti yang mengkaji ketabahan, masih memperdebatkan tentang bagaimana menjelaskan konstruk ketabahan ini. Apakah ketabahan itu merupakan suatu hasil (outcome), suatu proses ataukah suatu karakteristik individual (personality). Beberapa peneliti kemudian membedakan istilah ?resilience denganresiliency. Resilience lebih mengacu pada proses, sedangkan resiliency untuk menggambarkan  karakteristik personal. Al  Siebert, mendefinisikan resilience sebagai suatu proses keberhasilan seseorang dalam menghadapi kesulitan atau tantangan-tantangan dalam kehidupannya. Orang-orang yang tabah mampu mengatasi kesulitan dengan kesulitan dan kegigihan (saat menghadapi kegagalan), dan terus maju sekalipun mereka berada dibawah tekanan dengan cara-cara yang efektif. Individu yang memiliki ketabahan menunjukkan daya tahan fisik dan psikis terhadap situasi yang penuh stress, dimana mereka tidak menunjukkan tanda-tanda stress,  karena mereka tetap dapat berpikir dan bersikap positif, tetap fokus, fleksibel, teratur / tertata, dan pro-aktif (Risher & Stopper, dalam Davidson). Dalam proses ketabahan seseorang, terdapat beberapa atribut personal yang menyertainya, seperti konsep diri yang positif, growth mind-set, optimis, terbuka terhadap perubahan, memiliki internal locus of control, memiliki ketrampilan dalam pemecahan masalah, kompetensi sosial yang baik, dan memiliki rasa humor. Orang-orang yang memiliki ketabahan dan kegigihan yang tinggi memiliki kelenturan (flexible), mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi secara cepat, tumbuh pesat dalam situasi yang selalu berubah. Yang terpenting adalah mereka dapat ?pulih? dengan segera  dan  merasa percaya diri bahwa mereka bisa mengatasi situasi sulit yang ditemui. Mereka sangat cakap dalam menciptakan atau mengubah situasi, - dimana orang lain menganggap situasi itu sebagai sebuah kemalangan- menjadi keberuntungan dan mendapatkan banyak manfaat dari situasi tersebut  (Al Siebert dalam Sholl, 2011) Alkitab mencatat tokoh-tokoh yang mampu menunjukkan kompetensinya dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Bagaiaman mereka membuktikan memiliki kecerdasan Emosional dan kecerdasan Ketahanan menghadapi persolan. Kita dalam membaca kisah Musa, Kisah Abraham, Daniel, Rasul Paulus dan demikian juga denganTuhan Yesua sendiri. 
Kompetensi adalah keahlian untuk menjalankan tugas profesional sebagai sebuah keahlian. Ada tiga tingkatan kompetensi yakni kompetensi pemahaman (knowledge), keterampilan teknis (skill), dan abilitas (abilities). Slocum (2009:23) mengatakan: “A competency is an interralated cluster of knowledge, skilill and abilities by individual to beeffective. Kompetensi knowledge adalah penguasaan konsep melaksanakan pekerjaan, berkaitan dengan IQ. Kompetensi skill ialah kemampuan menerapkan konsep, berhubungan dengan IEQ. Kompetensi abilitas adalah keterpaduan pengetahuan dan keterampilan menjadi sebuah seni (arts). Pendidikan dan pelatihan tidak hanya sebatas memberi pemahaman konsep dan keterampilan menerapkan konsep, melainkan harus sampai pada kompetensi abilitas. Efektvitas profesional ditentukan oleh kualitas kompetensi penguasaan konsep, keterampilan menerapkan konsep dan kompetensi abilitas (Manullang dan Sri Milfayetty, 2012).
Menurut kamus kompetensi Kementerian Keuangan, yang dimaksud dengan resilience (ketabahan) adalah  kompetensi dalam menangani masalah, tekanan, dan stres yang berkaitan dengan pekerjaan secara efektif, profesional, dan positif.  Individu yang memiliki ketabahan menunjukkan kegigihan atau konsistensi dalam  mempertahankan sikap positif sekalipun dihadapkan dengan rasa frustrasi, tekanan, atau perubahan. Selain itu mereka juga mampu pulih dan bangkit kembali dengan cepat ketika dihadapkan dengan rintangan atau kesulitan.  Dalam kamus kompetensi tersebut dijabarkan pula level kompetensi dan indikator perilakunya, sehingga kita bisa mengamati dan mengukur tingkat ketabahan seseorang. 
Disaat-saat seperti ini, disaat kita harus berada pada ketaatan dengan aturan pemerintah untuk stay at home maka ketabahan dan ketahanan kita sedang mepertaruhkan. Apakah kita memiliki kompetensi dalam membuktikan diri memiliki kemampuan atau kecerdasan TABAH dan BERTAHAN Menghadapi kondisi ini. Meskipun demikian kita juga harus memiliki kecerdasan spiritual. Pola pikir SQ adalah proses pemahaman kebenaran holistik. Perspektif pemahaman terarah pada spektrum holistik. Kecerdasan ini membuat seseorang cenderung mengutamakan perspektif yang lebih luas daripada dekonsentrasi, sehingga mendorong loyalitas kelembagaan, kepedulian dan dedikasi yang semakin besar.

Danah Zohar dan Ian Marshall yang dikenal sebagai pencetus istilah spiritual intellegence mendefinisikannya sebagai berikut : “Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam hidupnya, dan bukan “rasionalisasi sekunder” yang muncul karena dorongan-dorongan naluriahnya. Makna hidup ini merupakan sesuatu yang unik dan khusus, artinya, dia hanya bisa dipenuhi oleh yang bersangkutan; hanya dengan cara itulah dia bisa memiliki arti yang bisa memuaskan keinginan orang tersebut untuk mencari makna hidup.”Karena, mencari makna hidup adalah motivator utama bagi manusia untuk menghadapi kehidupan ini dan kecerdasan spiritual adalah ranah kecerdasan yang melakukan tugas mencari makna tersebut, maka dapatlah dimengerti bahwa kecerdasan spiritual menampakkan posisinya sebagai kecerdasan dan modal utama bagi manusia dalam menghadapi kehidupan baik secara filosofis dan juga praktis.
Untuk itu mari bersama membuktikan diri kita vbhwa kita mampu menang melawan covid19 ya betsama kita memutus rantai penyebaran dengan kapasitas kita memiliki IQ, EQ, AQ dan SQ. Tuhan beserta kita.

Medio, Jln. Tarutung
Siantar, 06 April'20
Salam
#Jejakkarakter
#covid19musna


Komentar