Langsung ke konten utama

Manusia Sumber Kerusakan Ciptaan



Manusia Sumber Kerusakan Ciptaan

                                    Ilustrasi foto by 123RF.COM/TOMWANG


    Ketika pembahasan dampak krisis lingkungan seorang sejarawan Amerika yang bernama White Lynn pernah menggemparkan dunia. Menurutnya dampak dari pemahaman terhadap dominasi manusia terhadap ciptaan lainnya menjadi sumber utama kerusakan ekologi. Lynn setengah abad yang lalu menghasilkan tesis “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”. Lynn menyatakan bahwa perkembangan ilmu dan teknologi yang kini mengakibatkan krisis lingkungan hidup berakar dalam antroposentrisme yang berasal dari Alkitab Yahudi-Kristen. Dimana posisi sentral manusia dan dominasi manusia terhadap dunia ciptaan itu paling jelas ditemukan dalam misi yang diberikan oleh Allah kepada manusia sebagai gambarnya. Tanggapan terhadap tuduhan Lynn muncul dari berbagai ahli yaitu salah satunya Nash yang menuliskan dalam bukunya. James A. Nash, pakar etika kristiani yang dalam suatu karangan terakhir memperlihatkan bagaimana Alkitab kurang memberi perhatian kepada keutuhan alam. Contohnya ialah hutan belantara (wilderness) dengan keanekaragaman hayatinya. Padang belantara dalam Kitab Suci dipandang negatif, sebagai wilayah kesengsaraan dan pencobaan, pengungsian dan kesepian (Yer 8:17 dll.; 1Raj 19:1-9) yang di zaman akhir akan diubah Allah menjadi taman yang berguna bagi manusia (Mzm 107:33-38; Yes 35:1-7; dll).  Dalam Alkitab, menurut Nash, alam tidak dihargai karena nilai intrinsiknya; hanya sebagai sarana yang dapat dijinakkan dan dikelola demi kebutuhan manusia. “Bagian terbesar Alkitab itu acuh tak acuh, tidak peka, atau bahkan antagonistis terhadap alam yang tak dijinakkan. Dalam responnya seorang teolog Indonesia Singgih selain Nash ada Arnold Toynbee yang menyatakan bahwa monoteisme adalah penyebab kerusakan ekologi karena anti alam. Lebih lanjut Singgih memaparkan bahwa pendapat Toynbee sungguh berbeda karena pada pra monoteisme keadaan di dunia Yunani pro alam. Bagi Singgih bahwa pandangan monoteisme perlu menuju ke pantaisme yaitu belajar kepada agama-agama Timur misalnya Konghucu, Tao dan Shinto. Sementara Borrong menjelaskan dengan mengutip pendapat Norman Gesleir bahwa panteisme percaya ‘GOD is all and all is GOD’. Ajaran ini menegaskan bahwa alam disembah karena di anggap suci atau ilahi. Banyak teolog yang mengkritik ini karena ‘desakralisasi’ alam. Menurut Borrong bahwa alam memang memiliki nilai-nilai sakral namun tidak untuk disembah karena itu animistic. Hal ini tidak sesuai dengan teologia Kristen. Bagi Borrong bahwa hanya Allah yang patut disembah dan seluruh ciptaan terpanggil untuk menyembah Allah. Alam dan seluruh isinya baik yang organic dan anorganik.

                                                Ilustrasi foto by Paresh


    Penting untuk diketahui bahwa konsep sentral dalam ekologi ialah ekosistem yaitu suatu system ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya.  Istilah ekologi muncul pertama sekali oleh Haekel seorang dari murid Darwin demikian Borrong menuliskan: Pada tahun 1866 yang menunjukkan pada keseluruhan organisme atau pola hubungan antara organisme dan lingkungan. “Kata ekologi berasal dari kata Yunani yaitu “oikos” yang secara arafiah rumah dan pengetahuan. Ekologi sebagai ilmu berarti pengetahuan tentang lingkungan hidup atau planet bumi sebagai keseluruhan. Bumi dianggap rumah tempat manusia dan seluruh mahluk mahluk hidup dan benda lainnya. Jadi lingkungan hidup selalu harus dipahami dalam oikos, yaitu planet bumi ini. Sebagai oikos maka bumi mempunyai dua fungsi yang sangat penting, yaitu sebagai tempat kediaman (oikumene) dan sebagai sumber kehidupan (oikonomia). Sampai sekarang planet bumi merupakan satu-satunya tempat yang memungkinkan berlangsungnya kehidupan”. Singgih menegaskan apa yang diuraikan oleh Borrong bahwa defenisi dan perkembangan makna ekologi itu yaitu dalam membahas ekosistem yang terdiri dari ekosfer, sosisfer dan teknosfer. Ekosistem merupakan keseluruhan sebagai tatanan kesatuan yang mempunyai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi, sedangkan ekosfer adalah keseluruhan system kehidupan dalam alam raya. Sosiofer adalah lingkungan hidup bermasyrakat dari manusia sedangkan teknosfer adalah bagian dari kesatuan hidup yang merupakan ciptaan manusia. Menurut Singgih bahwa apa yang menjadi inti persoalan lingkungan yang berdampak atau yang menjadi sumber masalah dalam hubungan ciptaan yaitu terjadinya krisis lingkungan yang berada dalam teknosfer yaitu kesatuan hidup yang merupakan ciptaan manusia. Hal ini disebabkan karena bagi Borrong menilai teknologi yang diciptakan manusia sebagai penyebabnya yang bersifat negative yaitu menciptakan ekosistem buatan. Mengapa Borrong berpendapat demikian? Dalam argumen Borrong memandang bahwa manusia seyogyanya memandang alam tidak hanya sebagai fakta biologis-fisik saja. Manusia harus memandang alam sebagai cerminan keberadaan Sang Pencipta, yaitu Allah. Bagi Borrong tugas manusia sebagai ‘stewardship’ atau penata layanan yang bertanggungjawab kepada sang pemilik. Menurut Singgih apa yang disampaikan Borrong menjawab persoalan kesenjangan antara hubungan manusia dan alam yang disebabkan oleh teknologi itu menunjuk pada rasionalisme dan ilmu pengetahuan. Menurut saya baik Borrong dan Singgih mencoba untuk menelusuri penyebab terjadinya krisis ekologi yang dalam hal ini menurut saya lingkungan teknosfer. Singgih menegaskan bahwa hal ini juga sering menimbulkan antitesa di antara buatan manusia dan buatan alam atau alamiah. Borrong kembali menegaskan bahwa umat manusia berkarya dalam lingkungan teknosfer sekalipun di dalam dunia ini adalah dalam kerangka karya Allah. Manusia melaksanakan mandatNya sebagai Mitra Allah. Dalam perspektif alkitab bahwa manusia turut bekerja yaitu bertanggungjawab terhadap si pemberi kerja yaitu Allah (Mat.25.14-30; Luk. 19:11-27). 


    Maka untuk itu pemahaman yang benar akan makna dan tujuan penciptaa itu sangat mendasar dimiliki oleh manusia sebagai ciptaan itu sendiri. Manusia bukanlah penguasa yang menjadikannya semena-mena terhadap ciptaan lainnya. Sebagai ciptaan maka manusia yang telah menciptakan teknologi menjadi penata layanan keberlangsungan ciptaan itu sendiri. Manusia hidup dan berada dalam bagian ciptaan dan tanpa berada didalam bagian ciptaan itu sendiri. Manusia tidak dapat hidup keluar dan atau berada diluar dari bagian ciptaan itu sendiri. Untuk itu maka tugas manusia sebagai ciptaan bukan menjadi penyebab kehancuran ciptaan atau kerusakan ciptaanNya. Manusia bukan pencipta atas ciptaan lainya dalam kemajuan teknologi. Akan tetapi manusia menciptakan teknologi untuk kelangsungan kehidupan seluruh ciptaan dan Pujian bagi Sang Pencipta . Salam (Robsireg)





Sumber Bacaan:


James A. Nash Loving, Nature-Ecological Integrity and Christian Responbility, hard copy, (Washington,  Abingdon Press Nashville, 1991), hal. 70

Borrong, opt.cip, hal 183. Borrong. P. Robert, “Etika Bumi Baru”, hard copy, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1999), hal. 18. 

Emanuel Gerrit Singgih Ph.D, “Pengantar Teologi Ekologi”, (Yogyakarta, Kanisus, 2021), hal 36.






Komentar